SEMANGAT TERUS UNTUK UKM PSRM SIMO BUDI UTOMO

Reog atau Reyog??

Perbedaan kata "REOG" dan "REYOG" terkadang bagi orang yang berfikir njlimet atau yang baru mengenal runtutan sejarah polemik dua kata tersebut membuat rancu atau membingungkan, namun bagi orang awam dua kata tersebut sama saja. Dua kata yang sama - sama mengacu ke sebuah kesenian tradisional Ponorogo, yaitu kesenian yang setiap tahun diadakan Festival Reyog. Dalam penulisan ini, ijinkan penulis menggunakan kata "REYOG" sebagai tulisan. 

Polemik ini mulai muncul ketika Bupati Ponorogo waktu itu ( Markum Singodimedjo ) mengeluarkan slogan kota Ponorogo dengan jargon kota REOG; Resik Endah Omber Girang Gumirang yang artinya kurang lebih Ponorogo kota yang bersih, indah, serba diberi kelebihan sehingga masyarakatnya gembira dan sejahtera. Selain itu, Bupati juga menyebut kesenian Reog dengan ejaan R-E-O-G, bukan R-E-Y-O-G. Ejaan inilah yang kemudian menimbulkan beberapa persepsi tentang ejaan kesenian asli Ponorogo itu.

Almarhum Mbah Kasni Gunopati ( Mbah Kamituwo Kucing /sesepuh Warok Ponorogo) berpendapat bahwa kata yang benar adalah REYOG , karena kata reyog merupakan singkatan dari tembang Pocung dan mempunyai makna yang dalam tentang kehidupan. Mbah Wo
mengungkapkan,tembang Pocung itu sebagai berikut :

R asa Kidung
I ngwang Sukma Adiluhung
Y ang Widhi
O lah Kridaning Gusti
G elar Gulung Kersaning Kang Maha Kuasa


Penuturan Mbah Wo tentang arti kata Reyog ini masuk akal dan rasional dilihat dari sudut pandang filosofi kesenian reyog yang menjadi ikon kota Ponorogo.

Entah atas nama Misi Pembangunan atau alasan lain, yang jelas Bupati menggunakan kata Reog ketika menyebut kesenian asli Ponorogo, hal ini dapat dilihat dari buku The Smilling Reog Land karangan Dr. Markum Singodimedjo dan buku ini dibuat ketika mendapat penghargaan Doktor HC dari salah satu Universitas di Singapura. Tulisan - tulisan jurnal penelitian yang menggunakan kata Reog dan sudah melalui kajian dan prosedur ilmiah antara lain :
Jurnal yang ditulis Ian Douglas Wilson, Reog Ponorogo Spirituality, Sexuality and Power in Javanese Performance Tradition ; Herman Joseph Wibowo, Drama Tradisional Reog - Suatu Kajian sistem Pengetahun dan Religi (Jarahnitra - UGM); Jotsco Petcovic, East Java Reog Project; Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Daerah Jawa Timur ; Kamus Besar Bahasa Indnesia ; Dede Oetomo, Gender and Oriented in Indonesia.

Adapun beberapa literatur yang menggunakan kata Reyog antara lain:
Hartono, Reyog Ponorogo ; Margareth J. katomi, Performance, Music and Meaning Reyog Ponorogo ; Soedjono Hardjo Martono, Rejog, Warok dan Gemblak - Tritunggal jang yang tak dapat dipisah - pisahkan.

Terlepas dari polemik perbedaan dua kata Reog - Reyog dan literatur, sebagai penggembira dan penikmat seni tari tradisional, sekiranya kita bisa membuat suatu analisa yang mendalam tentang perbedaan dua kata tersebut. Yang menjadi pertimbangan apakah penting dua kata yang tujuan dan makna harfiahnya sama harus dipolemikkan, sementara esensinya semakin kabur perkembangannya? Sekiranya polemik penggunaan penyebutan Reyog dan Reyog ini, tidaklah terlalu penting namun esensinya yaitu kesenian Reyog itu sendiri yang lebih penting. Bagaimana Dhadhak Merak dan suara gamelan pelog slendro bisa menari dan bergaung bersama di setiap tempat dan setiap saat, sehingga seniman tradisi dan masyarakat bisa menikmati pertunjukan reyog

sumber https://m.facebook.com/notes/reyog-indonesia/about-reog-dan-reyog/430348827463/?_rdr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERGUNAKAN BAHASA KOMENTAR YANG SOPAN

TERIMAKASIH SUDAH MEMEBRIKAN KOMENTAR DAN SARAN